Laporan : Christanto Mugi Prayitno Todongi
Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah yang tidak hanya dikenal sebagai penghasil tambang dan mineral namun jauh hari sebelumnya wilayah ini ternyata sudah dikenal sebagai salah satu titik atau pusat peradaban tertua dunia yang pernah ditinggali oleh manusia purba ras Austronesia sekira 7000 tahun yang lalu.
Kehadiran manusia purba ras Austronesia itu sendiri bukan hanya sekedar cerita belaka. Hal ini dibuktikan dengan temuan-temuan berupa megalithik yang tersebar di 3 lembah yakni di lembah Napu, Behoa dan di lembah Bada.
Berdasarkan data yang dihimpun penulis, sedikitnya ada sekitar 2000an benda tinggalan aerkeologi Sulawesi Tengah yang sudah berhasil teridentifikasi terdiri 26 jenis artefak pada 118 situs di tiga lembah tersebut.
Khusus Lembah Bada, tinggalan arkeologi yang diidentifikasi sebanyak 186 buah yang tersebar di 35 situs.
Peninggalannya arca megalith berupa patung batu setengah badan manusia dilengkapi dengan tangan, hidung, mata, telinga dan simbol kelamin, kalamba, wadah dan tutupnya, bakal wadah kalamba, batu berlubang, tutup tempayan, juga buho. Wadah kalamba terbanyak ditemukan, 64 buah.
Sementara jumlah situs di Lembah Behoa ada 32, Lempah Napu 29 situs.
Hasil temuan di atas belum bisa menjadi angka final sebab bisa jadi masih banyak artefak-artefak purba lain yang masih terpendam dan belum ditemukan baik secara kebetulan maupun dari hasil eskavasi para ahli.
Adapun megalith-megalith di Sulawesi Tengah yang sudah berhasil ditemukan dan teridentifikasi tersebut terbagi atas beberapa jenis mulai dari arca, kalamba (lesung batu) bertutup dan tidak tertutup, dulang batu, menhir, dolmen, dan patung batu berupa potongan setengah badan manusia serta 4 jenis hewan yang mirip atau serupa dengan binatang monyet, kerbau, katak dan burung hantu sementara satu lainnya berwujud seperti gambar Alien.
Melihat angka temuan dan untuk meningkatkan status keamanan dan pemanfaatan megalithik-megakithik tersebut, pemerintah daerah Sulawesi Tengah dipandang perlu untuk melakukan satu tindakan nyata yaitu Perlindungan benda-benda purbakala tersebut dengan cara mendelineasi dan mengusulkan wilayah purbakala ini menjadi warisan budaya dunia.
Untuk pengusulan tersebut sebenarnya tidaklah terlalu rumit sepanjang semua pihak mau membuka diri dan saling mendukung satu sama lainnya.
Setiap situs atau kawasan dapat menjadi warisan dunia asalkan memiliki tiga asas sebagai Nilai Universal Luar Biasa atau Outstanding Universal Value [OUV].
Pertama, memenuhi satu atau lebih kriteria OUV.
Kedua, keaslian dan keutuhan.
Ketiga, pelindungan dan pengelolaan.
Kalamba (lesung batu bertutup). Lokasi temuan Desa Bariri, lembah Behoa, Kabupaten Poso.
Penetapan cagar budaya adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
Penetapan cagar budaya adalah salah satu kegiatan dalam pelestarian cagar budaya yang terkait langsung dengan upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan.
Penulis dan situs purbakala Tadulako di lembah Behoa, Kabupaten Poso.
Pengertian Penetapan yang dimaksud terdapat dalam Pasal 1 ayat 17 Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yakni pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya dan dukungan dari pihak terkait lainnya.
Pentingnya proses penetapan dalam pelestarian cagar budaya, terlihat pada sistematika dan komposisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang secara khusus membahas penetapan ini pada Bab VI.
Registrasi Nasional Cagar Budaya, di Bagian Ketiga yang terdiri dari empat pasal, yaitu pasal 33 – 36, sebagai berikut:
Pasal 33(
1) Bupati mengeluarkan penetapan status Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah rekomendasi diterima dari Tim
dari Tim Ahli Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya.
(2) Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa:
a. Surat keterangan status Cagar Budaya dan
b. Surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah.
(3) Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya berhak mendapat Kompensasi.
Pasal 34
(1) Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang berada di 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi.
(2) Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang berada di 2 (dua) provinsi atau lebih ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional.
Pasal 35
Pemerintah Kabupaten menyampaikan hasil penetapan kepada Pemerintah Provinsi dan selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah Pusat.
Pasal 36
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pasal 11 dapat ditetapkan sebagai Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Gubernur setelah memperoleh rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya sesuai dengan tingkatannya.
Dengan demikian, terdapat lima pasal yang membahas khusus mengenai penetapan mulai dari Pasal 1 ayat 17, dan Pasal 33 sampai 36. Jika kita cermati pasal-pasal terkait penetapan ini, terdapat beberapa poin penting.
Pertama penetapan adalah sebuah proses pemberian status cagar budaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten.
Kedua, proses pemberian status ini baru dapat dilakukan setelah Pemerintah Kabupaten yaitu dalam hal ini Bupati telah menerima rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya.
Artinya, salah satu hal penting yang harus dilakukan dalam proses penetapan cagar budaya ini adalah Pemerintah Daerah harus membentuk Tim Ahli Cagar Budaya.
Tim Ahli Cagar Budaya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 13, adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ahli pelestarian, tercantum pada Pasal 1 ayat 14, dimana disebutkan, Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Perlindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.
Kumpulan Kalamba ditemukan di Lembah Behoa, Kabupaten Poso
Dengan demikian, Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengikutkan Tim Ahli Cagar Budaya yang dibentuk untuk mengikuti sertifikasi kompetensi.
Ketiga, penetapan cagar budaya membutuhkan peran aktif Kepala Daerah karena Bupati yang mengeluarkan penetapan status cagar budaya (surat keputusan).
Penetapan status tersebut harus dilakukan paling lama 30 hari setelah menerima rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya.
Setiap hasil penetapan harus disampaikan kepada pemerintah Provinsi dan selanjuttnya kepada Pemerintah Pusat.
Artinya ada implikasi hukum bagi Bupati
jika lewat dari 30 hari belum menetapkan status sebuah cagar budaya.
Hal tersebut dapat dianggap sebagai upaya sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan upaya pelestarian cagar budaya, mengingat Penetapan adalah salah satu bagian dari pelestarian cagar budaya.
Dalam Pasal 55 disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya”.
Konsekuensi hukumnya terdapat pada Pasal 104, yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
* Selain sebagai Wartawan penulis juga adalah Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia Kabupaten Poso dan Pemandu khusus megalithikum Sulawesi Tengah *
Posting Komentar